Assalamualaikum, kali ini ane bakal ngejelasin
tentang Deontologi Media. Pas banget nih bro buat kalian yang lagi kuliah di
jurusan Jurnalistik dan Komunikasi Media. Biar nggak bertele-tele langsung aja
nih ane kasih tau informasi mengenai Deontologi Media yang ane baca di beberapa
media dan situs pendidikan.
Sebelumnya, pasti kalian pada bingung kan apa sih
Deontologi Media itu?
Menurut survey yang telah ane cari, Deontologi
berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari kata Deon yang artinya Kewajiban jadi secara harfiah Deontologi adalah
hal yang mengenai kewajiban. Berbicara mengenai kewajiban berarti disitu
membahas mengenai moral dimana dengan kata lain deontologi adalah hukum yang
bertindak pada moral atau tindakan media kepada khalayak. Seberapa manfaatnya
tontonan yang disiarkan kepada pemirsa adalah menjadi tolak ukur Deontologi
Media. Ini artinya media haruslah memberi pelayanan tontonan yang mendidik,
edukasi, dan inspirasi bagi kehidupan sosial.
Dalam dunia media, kita mengenal dengan sembilan
etika jurnalistik, salah satunya yakni komitmen akan kepentingan publik. Dari
sini kita bisa menilai bahwa media harus memiliki tanggung jawab sosial atas
siarannya.
Mengenai media saat ini, terutama di indonesia.
Melihat hasil survei Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baru-baru ini, fakta
membuktikan dari 45 program acara dalam 15 statsiun televisi di Indonesia
selama Maret-April 2015, diperoleh nilai indeks kualitas secara keseluruhan
3.25 di bawah angka standar baik 4,0. Televisi cenderung mempertontonkan
tayangan sensasional dan kualitas rendah.
Dari hasil tersebut membuktikan dan menjadi acuan serta
tolak ukur bahwa tayangan yang di tontonkan kepada khalayak masih jauh dengan
kata mendidik. Padahal sudah seharusnya dan kewajiban serta tanggung jawab
media mengutamakan penayangan yang bermanfaat bagi publik. Jangan sampai
mengutamakan Rating dan iklan sehingga melupakan tanggung jawab media sebagai
penyedia tontonan yang mengedukasi bagi khayalayak.
Kembali lagi mengenai deontologi media, dari kasus
diatas bisa disimpulkan. Bahwa memang benar penyedia tayangan pasti mengejar
rating untuk mengukur tingkat keberhasilannya, akan tetapi apa salahnya bila
tidak menyampingkan etika dan tetap menjadi penyedia tontonan yang baik bagi
khalayak tanpa terlalu mengedepankan dari sisi ekonomi.
Tentu ini menjadi tantangan bagi media untuk lebih
kreatif dan inovatif dalam memberi tayangan yang mengedukasi bagi publik serta
sukses dengan rating tinggi tanpa mengedepankan sensasi dan ekonomi.
Mungkin cukup sekian bro informasi yang ane kasih
tau. Lain kali ane kasih informasi yang menarik lagi salam hangat, jangan lupa
budayakan membaca untuk masa depan yang lebih baik. Wassalamualaikum.
M.
Muallifi – Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati (Jur.Jurnalistik)
0 komentar:
Post a Comment